Search

Opini

Lingkungan Rusak, Swasembada Pangan Terancam


calendar--v1 13 Maret 2025

Lingkungan Rusak, Swasembada Pangan Terancam

PADA Kamis, 6 Maret 2025, bersama Menteri Lingkungan Hidup (MenLH) Hanif Faisol Nurofiq, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, dan Bupati Bogor Rudi Susmanto, saya memimpin penyegelan empat perusahaan di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, terkait pelanggaran peraturan dan perizinan lingkungan hidup. Keempat perusahaan tersebut merupakan bagian dari pihak-pihak yang telah melanggar aturan dan merusak lingkungan di kawasan Puncak. Tindakan tegas akan diberlakukan terhadap semua pelanggar, tanpa tebang pilih. Langkah-langkah yang diambil dapat berupa penyegelan, pembongkaran bangunan, hingga pemrosesan tindak pidana lingkungan hidup dan pidana lainnya.

Mungkin sebagian masyarakat, terutama netizen, bertanya-tanya, "Mengapa Menteri Koordinator Bidang Pangan yang memimpin penyegelan?" Jawabannya sederhana. Pertama, Menteri Koordinator Bidang Pangan mengoordinasikan Kementerian Lingkungan Hidup, selain beberapa kementerian dan lembaga lain seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Gizi Nasional, serta Badan Pangan Nasional. Ini dari sisi administrasi pemerintahan.

Kedua, secara ilmiah, banyak aspek kehidupan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Kita sudah merasakan dampak banjir yang melanda berbagai wilayah, seperti di Jakarta dan sekitarnya. 

Dampak kerusakan lingkungan terhadap pangan

Namun, banjir bersifat musiman. Yang lebih permanen adalah dampak kerusakan lingkungan terhadap sistem produksi pangan. Jika lingkungan rusak, produksi pangan dan swasembada pangan akan terkena dampak negatif. Bukan hanya saat ini, melainkan juga dalam beberapa tahun ke depan, bahkan hingga generasi mendatang. Padahal, swasembada pangan adalah salah satu program prioritas utama Presiden Prabowo Subianto. Ancaman krisis lingkungan dan perubahan iklim terhadap program swasembada pangan sudah sangat nyata. Krisis ini berakar dari perubahan tutupan lahan, penurunan produktivitas lahan pertanian yang tersisa, serta meningkatnya kerentanan terhadap bencana lingkungan dan iklim.

 Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) melaporkan bahwa tekanan iklim dan non-iklim telah berdampak besar pada empat pilar ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas. Jika krisis lingkungan dan perubahan iklim tidak segera diatasi, produksi pangan global diperkirakan akan menurun. Perkiraannya, menurut IPCC, produksi gandum akan turun maksimum sekitar 4 persen per dekade, dengan median sekitar 2 persen. Penurunan maksimum jagung sekitar 2,5 persen, dengan median mendekati 2 persen, sementara padi di atas 2 persen dengan median 0 persen. Riset di Indonesia juga menunjukkan hal serupa. AK Makarim dan Ikhwani (2011) menyebutkan bahwa, "... banjir dan rendaman dapat menurunkan hasil padi secara signifikan di tiga kabupaten di Jawa Barat dan tiga kabupaten di Jawa Tengah, serta menyebabkan kerugian besar bagi petani dan pemerintah daerah. Kehilangan produksi padi akibat banjir bervariasi antar kabupaten dan antar tahun." Di Jawa Timur, Aprillya, MR, dan Uswatun, C (2021) menyatakan bahwa, "... banjir merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kerusakan lahan pertanian. Ancaman banjir juga membuat petani kesulitan menentukan awal musim tanam, serta meningkatkan risiko penurunan produksi bahkan gagal panen."

Sementara itu, di Kalimantan Selatan, yang menjadi lumbung padi terbesar di Kalimantan, riset Ramadhani, EL dan Ichwan S (2022) menunjukkan korelasi yang cukup tinggi antara kejadian banjir dengan hasil produksi padi, yaitu sebesar 0,5837.

Solusi yang harus diambil

Kerusakan lingkungan di Indonesia sudah terjadi mulai dari hulu—seperti di pegunungan dan dataran tinggi—, daerah aliran sungai (DAS), hingga ke hilir. Penyebab utamanya adalah aktivitas manusia. Kita tahu bahwa kawasan hulu berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekologis, perlindungan hidrologis, dan biodiversitas. Kesalahan dalam pengelolaan sumber daya lahan di hulu dapat menimbulkan kerusakan yang multiplikatif dan permanen. Kerusakan lingkungan di kawasan Puncak, misalnya, telah mengakibatkan penurunan drastis daya dukung dan daya tampung DAS Ciliwung dan Cisadane sebagai daerah tangkapan dan resapan air. Oleh karena itu, kawasan hulu harus dijaga kelestariannya. Dalam jangka pendek, solusinya adalah penindakan administratif dan hukum terhadap para pelanggar. Itulah sebabnya saya memimpin penyegelan. Untuk jangka menengah dan panjang, diperlukan solusi yang komprehensif, partisipatif, integratif, dan inklusif. Ini meliputi, pertama, regulasi dan kebijakan tata ruang yang partisipatif dan sinkron di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa.

 Kedua, swasembada pangan berkelanjutan, misalnya melalui pertanian cerdas iklim (climate smart agriculture). Ini adalah pendekatan terpadu untuk mengelola lanskap lahan pertanian dari hulu hingga hilir, melibatkan pertanian, peternakan, perikanan, dan agroforestri. Ketiga, konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam sebagai langkah mitigasi dan adaptasi terhadap risiko bencana lingkungan dan iklim. Dalam konteks solusi tersebut, penguatan kelembagaan dan kebijakan menjadi sangat mendesak. Itulah sebabnya pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bertindak cepat dengan melakukan terobosan kebijakan dan kelembagaan. Contohnya antara lain pemangkasan birokrasi dan rantai penyaluran pupuk bersubsidi, rehabilitasi saluran irigasi yang rusak, kenaikan harga beli gabah petani, dan transformasi Badan Urusan Logistik.

Namun, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan. Terlebih lagi, kelestarian lingkungan, pencegahan bencana, dan peningkatan produksi pangan adalah kepentingan kita bersama.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Editor : Palupi Annisa Auliani